Bahkan, ancaman tersebut berbentuk intimidasi dan menakut-nakuti pemimpin negara. Hal tersebut pernah dialami oleh Alm. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) saat masih menjadi Presiden.
Kejadian itu terjadi di bulan Maret pada tahun 2000 lalu dan diceritakan oleh Adhie M. Massardi yang pada saat itu menjadi Jubir Presiden.
Saat itu, kata Adhie, bekas Menteri Luar Negeri Amerika Serikat yang kemudian menjadi Komisaris PT Freeport, Henry Kissinger datang menemui Gus Dur di Istana.
Gus Dur |
Tapi, Gus Dur melawan dan menegaskan tidak akan menggadaikan masa depan Papua. Pasalnya, kata Adhie, Gus Dur saat itu punya policy untuk melakukan moratorium tehadap Kontrak Karya baru yang berkaitan dengan sumber daya alam. Selain itu Gus Dur juga mengeluarkan kebijakan meninjau kembali Kontrak Karya yang pernah dibuat di zaman rezim Soeharto.
“Gus Dur soalnya tahu semua Kontrak Karya yang dilakukan di zaman Soeharto banyak menyimpang dari UU dan merugikan rakyat Indonesia,” tambah Adhie, yang juga Koordinator Gerakan Indonesia Bersih (GIB) ini.
Gus Dur dan Rizal Ramli Sepakat Perjuangkan Hak Rakyat
Pasca intimidasi itu, Gus Dur pun meminta Menteri Koordinator Perekonomian saat itu, Rizal Ramli, untuk tegas melakukan renegosiasi kontrak terhadap Freeport. Gus Dur dan Rizal Ramli bisa berani melakukan renegosiasi karena pemerintah punya standing moral yang kuat dibanding zaman Soeharto.
“Dulu zaman Soeharto Indonesia dinilai tidak setaraf Amerika Serikat. Mereka (Freeport) sudah tahu isi kandungan di Timika. Dulu namanya bukan Timika, tapi Tembaga Pura. Itu dinamain oleh Freeport. Indonesia tidak tahu ada tembaga disana jadi kita mudah dikelabui,” jelas Adhie.
Gus Dur pun dulu mendapatkan sinyal, jika Freeport marah akibat sikapnya itu. Selain soal renegosiasi, Freeport juga marah karena Gus Dur mengusulkan Ketua Lembaga Musyawarah Adat Suku Amungme Papua, Tombenal, untuk menjadi Komisaris Freeport. Freeport jelas menolak karena Tombenal terkenal keras dan selalu melawan perusahaan asal Amerika Serikat itu akibat limbah yang dibuang ke wilayahnya.
Penghasutan Melawan Gus Dur
Adhie membaca akibat Freeport marah, diam-diam perushaan milik James Moffet itu melakukan gerilya secara diam-diam menemui politisi yang bercokol di parlemen Senayan saat itu. Upaya penghasutan dan adu domba pun mulai dilakukan demi melawan Gus Dur.
“Sejak itulah, mulai muncul perlawanan keras dari parlemen yang berakhir dengan pemakzulan pada Gus Dur. Saya yakin otak dibalik pemakzulan itu ya pasca proses renegoisasi yang gagal dengan Freeport dan perusahaan-perusahaan migas asing soal moratorium itu,” beber Adhie.
Pemberian Upeti usai Gus Dur Lengser
Adhi mengaku bukan tanpa dasar mengeluarkan tudingan ini. Menurutnya, pasca Gus Dur lengser banyak politisi-politisi di Indonesia yang memberikan upeti, termasuk dari pemerintahan baru saat itu. Upeti itu berupa UU Migas yang berisi liberasiliasi perusahaan tambang dan migas. Upeti kedua yakni amandemen UUD 1945 yang sangat liberal dan menguntungkan asing.
“Itulah dua kado besar untuk Freeport dan perusahaan asing atas jasanya untuk bantu politisi di Indonesia yang bantu lengserkan Gus Dur,” kata Adhie.
Bak gayung bersambut, Freeport dan perusahaan asing saat itu membalas memberikan upeti pada politisi saat itu. Antara lain berupa jabatan komisaris di perusahaan mereka.
“Mau ngeles gimana coba kalau begitu? Gus Dur lengser bulan Juli, empat bulan kemudian bulan November 2001 UU itu keluar semua, setahun kemudian 2002 amandemen UUD 1945,” beber Adhie, yang juga dikenal sebagai penyair ini.
Harapan untuk Presiden Joko Widodo bisa Melawan
Atas fakta tersebut, Adhie pun berpesan pada Presiden Joko Widodo untuk tidak takut akan cerita tersebut. Jokowi harus berani melawan karena situasi politik saat ini mendukung dan kuat, baik dari rakyat maupun jajaran dibawahnya.
“Rakyat sudah tahu gimana parahnya kelakuan perusahaan asing di Indonesia. Pak Jokowi jangan takut,” demikian Adhie.
Apa pendapat Anda?
0 comments:
Post a Comment